India dikenal sebagai negeri dengan ribuan perayaan yang mewarnai setiap bulan dalam kalendernya. Dari utara hingga selatan, hampir setiap minggu ada saja festival, upacara keagamaan, atau peringatan sejarah yang dirayakan dengan penuh semangat. Namun, tahun 2025 menghadirkan sesuatu yang jarang terjadi: dua peringatan besar, Gandhi Jayanti dan Dussehra, jatuh pada tanggal yang sama — 2 Oktober.
Kebetulan ini bukan hanya menarik dari sisi kalender, tetapi juga sarat makna. Di satu sisi, Gandhi Jayanti memperingati kelahiran Mahatma Gandhi, sang tokoh non-kekerasan dan bapak bangsa India. Di sisi lain, Dussehra adalah festival kemenangan kebaikan atas kejahatan, di mana masyarakat mengenang peristiwa pembunuhan Rahwana oleh Rama — sebuah kisah yang justru melibatkan peperangan dan kemenangan melalui kekuatan. Dua makna yang berlawanan ini berpadu di satu hari, menciptakan ruang refleksi unik bagi masyarakat India dan dunia.
Dua Perayaan, Dua Nilai yang Kontras
Gandhi Jayanti diperingati setiap 2 Oktober untuk mengenang kelahiran Mohandas Karamchand Gandhi pada tahun 1869 di Porbandar, Gujarat. Hari ini ditetapkan sebagai hari libur nasional di India, dan juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Hari Internasional Tanpa Kekerasan (International Day of Non-Violence).
Pada hari ini, seluruh pelosok India dipenuhi kegiatan yang menonjolkan nilai-nilai perdamaian, kesederhanaan, dan pelayanan. Sekolah-sekolah mengadakan lomba pidato, puisi, dan seni bertema satyagraha (perlawanan tanpa kekerasan). Pejabat pemerintahan dan masyarakat menaruh karangan bunga di Raj Ghat, makam peringatan Gandhi di New Delhi. Banyak orang juga berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti membersihkan lingkungan, memberi bantuan sosial, atau bermeditasi.
Sementara itu, Dussehra (juga dikenal sebagai Vijayadashami) adalah salah satu festival Hindu paling penting di India. Festival ini menandai berakhirnya perang epik Ramayana, ketika pangeran Rama mengalahkan Rahwana, raja iblis yang menculik istrinya, Sita. Di berbagai daerah India, Dussehra dirayakan dengan membakar patung raksasa Rahwana, simbol kehancuran kejahatan.
Bagi umat Hindu, Dussehra melambangkan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan), sekaligus momen untuk menegaskan kembali nilai keberanian, kesetiaan, dan keadilan. Di beberapa wilayah seperti Bengal, perayaan ini juga menandai berakhirnya Durga Puja, festival pemujaan Dewi Durga setelah ia mengalahkan iblis Mahishasura.
Ketika Simbol Damai dan Perang Menyatu
Peristiwa ketika hari lahir Gandhi dan hari kemenangan Rama jatuh bersamaan tentu mengundang refleksi yang mendalam. Gandhi adalah ikon perlawanan tanpa senjata, sedangkan Rama adalah simbol kemenangan melalui peperangan.
Keduanya, dalam konteks yang berbeda, berbicara tentang perjuangan melawan kejahatan — hanya saja dengan cara yang berlainan. Gandhi memilih jalan tanpa kekerasan, percaya bahwa kebenaran akan menang tanpa harus menumpahkan darah. Rama, di sisi lain, menunjukkan bahwa ketika kejahatan sudah melampaui batas, tindakan tegas diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan dunia.
Kebetulan ini seakan menghadirkan dua sisi dari satu koin: perdamaian dan keberanian. Masyarakat India pun menanggapinya dengan beragam reaksi. Di media sosial, banyak yang menulis komentar jenaka dan reflektif, misalnya, “Hari ini, bahkan Rahwana mungkin memilih berdamai.” Ada pula yang mengunggah ilustrasi kreatif, menggambarkan Gandhi berdiri di depan patung Rahwana dengan bunga di tangan, bukan panah.
Namun di balik humor dan kreativitas itu, tersimpan pertanyaan besar: apakah kekerasan dan non-kekerasan benar-benar berseberangan? Ataukah keduanya hanyalah dua cara manusia mencari keadilan?
Pelajaran Filosofis dari Dua Tokoh Besar
Jika ditelusuri lebih dalam, Gandhi dan Rama sebenarnya tidak sepenuhnya bertolak belakang. Kedua tokoh ini berakar pada nilai moral yang sama — yaitu kebenaran, kesetiaan, dan pengorbanan.
Gandhi sering kali mengutip ajaran Bhagavad Gita, kitab suci Hindu yang juga menjadi landasan spiritual bagi kisah Rama. Ia percaya bahwa kekuatan moral dan pengendalian diri adalah bentuk keberanian tertinggi. Dalam pandangan Gandhi, kekerasan mungkin bisa memenangkan pertempuran, tetapi hanya kebenaran yang bisa memenangkan hati dan perdamaian jangka panjang.
Sementara itu, Rama dikenal bukan hanya karena keberaniannya, tetapi juga karena keteguhan moralnya. Ia tidak berperang demi kekuasaan, tetapi demi menegakkan kebenaran dan memulihkan kehormatan. Dalam kisah Ramayana, Rama bahkan memberikan kesempatan kepada Rahwana untuk menyerah sebelum perang terjadi — sebuah bentuk belas kasih di tengah konflik.
Dengan demikian, bertemunya Gandhi Jayanti dan Dussehra di satu tanggal bisa dimaknai sebagai momen keseimbangan spiritual, di mana nilai-nilai kasih, keadilan, dan keberanian berjalan berdampingan.
Reaksi Publik: Antara Humor dan Perenungan
Tak bisa dipungkiri, media sosial di India langsung dibanjiri postingan lucu, meme, dan diskusi hangat ketika kabar ini menyebar. Beberapa gambar viral menampilkan Gandhi sedang “menyuruh” Rahwana untuk berhenti berperang, atau Rama memeluk Gandhi dalam simbol rekonsiliasi antara aksi dan damai.
Meski tampak ringan, humor-humor ini menunjukkan cara masyarakat India menanggapi fenomena sosial: dengan cerdas dan penuh makna. Banyak pengguna internet menulis bahwa tahun ini seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan bagaimana dunia modern masih bergulat dengan kekerasan — baik dalam bentuk perang, konflik sosial, maupun perpecahan digital.
Beberapa cendekiawan India bahkan menulis opini di surat kabar nasional, menyebut bahwa “Gandhi dan Rama tidak sedang bersaing, melainkan berbicara dalam bahasa yang berbeda tentang hal yang sama: perjuangan moral manusia.”
Makna bagi Generasi Muda
Bagi generasi muda India yang tumbuh di tengah teknologi dan perubahan sosial cepat, momen ini bisa menjadi pengingat penting akan akar budaya dan nilai-nilai kebangsaan mereka. Banyak sekolah dan universitas di seluruh India merencanakan kegiatan tematik yang menggabungkan dua perayaan ini — seperti drama yang menampilkan Gandhi berdialog dengan Rama, atau seminar bertajuk “Non-Violence and the Battle Within.”
Pesan yang muncul jelas: bahwa setiap zaman memiliki medan perangnya sendiri. Gandhi melawan penjajahan dengan moralitas, Rama melawan iblis dengan keberanian. Sedangkan generasi modern harus melawan egoisme, ketidakadilan sosial, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan.
Dussehra dan Gandhi Jayanti di Tengah Dunia Modern
Dalam konteks global, bertepatan-nya dua perayaan ini juga terasa relevan. Dunia saat ini tengah menghadapi konflik, krisis iklim, dan ketegangan sosial. Di tengah semua itu, pesan Gandhi tentang perdamaian dan pengendalian diri terasa semakin dibutuhkan.
Namun, seperti pesan Dussehra, kadang dunia juga membutuhkan keberanian untuk melawan kejahatan dan ketidakadilan. Tidak semua kejahatan dapat dilawan dengan diam. Ada saatnya masyarakat harus bersatu, seperti Rama dan para sekutunya, untuk menegakkan kebenaran — meski tanpa harus kehilangan nilai kemanusiaan.
Perpaduan ini seolah mengingatkan bahwa perdamaian sejati bukanlah ketiadaan konflik, tetapi kemampuan untuk menjaga moralitas di tengah konflik.
Penutup: Hari Ketika India Merenungkan Diri
Tanggal 2 Oktober 2025 bukan hanya tentang kebetulan dua hari besar jatuh bersamaan. Ini adalah momen simbolik di mana seluruh India, bahkan dunia, diajak untuk merenung. Apakah kita masih setia pada nilai-nilai Gandhi yang menolak kekerasan? Ataukah kita lebih dekat dengan semangat Rama yang berjuang demi keadilan?
Mungkin jawabannya bukan memilih salah satu, tetapi memadukan keduanya. Karena dunia yang ideal bukan hanya damai tanpa perjuangan, melainkan damai yang diperjuangkan dengan kebenaran dan kasih.
Ketika matahari terbit di India pada pagi itu, doa dan nyanyian untuk Gandhi menggema dari satu sisi negeri, sementara suara genderang dan sorak perayaan Dussehra bergema dari sisi lain. Dua nada yang berbeda, tetapi bersama-sama membentuk harmoni yang menggambarkan jiwa India — penuh warna, penuh makna, dan selalu mencari keseimbangan antara kekuatan dan kedamaian.